Joan of Arc: Tuduhan terhadap Gereja Katolik, Kisah Ketidakadilan dan Martir
![]() |
| Pelukis: Kevin Pawlowski |
Joan of Arc, seorang wanita muda yang menjadi pahlawan nasional Prancis, sering kali disebut dalam berbagai tuduhan yang melibatkan Gereja Katolik, terutama oleh pihak-pihak yang ingin menggambarkan bahwa ia dihukum mati karena peran Gereja dalam persidangannya. Meskipun banyak tuduhan yang diajukan, sangat penting untuk memahami konteks sejarah dan politik pada masa itu untuk mengetahui bahwa tuduhan terhadap Gereja Katolik dalam hal ini tidak sepenuhnya akurat. Sebaliknya, Gereja Katolik sebagai institusi tidak sepenuhnya terlibat dalam eksekusi Joan of Arc; melainkan, ada berbagai faktor politik yang mempengaruhi kejatuhan Joan.
Kondisi Politik dan Gereja pada Masa Joan of Arc
Pada masa hidup Joan of Arc, dua peristiwa besar mengubah jalannya sejarah Gereja Katolik dan Prancis: Skisma Barat dan Perang Seratus Tahun. Skisma Barat adalah periode di mana Gereja Katolik terpecah menjadi dua kepausan yang saling bersaing, satu di Roma dan satu lagi di Avignon. Ketika Joan of Arc dilahirkan pada tahun 1412, Gereja Katolik berada dalam kekacauan besar. Skisma ini baru saja berakhir dengan Konsili Constance pada tahun 1417, yang mengakhiri pertikaian antara dua Paus yang mengklaim kekuasaan mereka sebagai pemimpin gereja yang sah.
Namun, perpecahan ini meninggalkan warisan kebingungannya, dan ketika Joan menghadapi persidangan pada tahun 1431, pertanyaan tentang otoritas gereja masih sangat relevan. Persidangannya, yang berlangsung di Rouen, sangat dipengaruhi oleh kondisi politik saat itu. Sebagian besar pengadilan terdiri dari individu-individu yang memiliki afiliasi dengan Inggris, pihak yang berusaha mengalahkan Prancis dalam Perang Seratus Tahun. Pada saat itu, Inggris ingin Joan dihukum mati karena dianggap menjadi ancaman bagi rencana mereka untuk menguasai Prancis.
Tuduhan dan Pengadilan terhadap Joan of Arc
Pada tahun 1430, Joan of Arc, yang pada saat itu baru berusia 18 tahun, ditangkap oleh pasukan Burgundia dan diserahkan kepada pihak Inggris. Tuduhan yang diajukan terhadapnya sangat berat, di antaranya adalah bid’ah dan penyihir. Tuduhan-tuduhan ini tidak hanya dilontarkan oleh pihak sekuler, tetapi juga oleh pihak Gereja yang pada saat itu sangat dipengaruhi oleh kekuatan politik.
Namun, yang sangat mencolok dalam persidangan ini adalah bahwa para hakim yang mengadili Joan hampir semuanya memiliki afiliasi dengan Inggris. Salah satu tokoh kunci adalah Pierre Cauchon, Uskup Beauvais, yang memimpin persidangan tersebut. Meskipun Cauchon berbahasa Prancis dan berasal dari Prancis, ia adalah sekutu setia Raja Inggris, Henry VI. Dalam banyak hal, pengadilan yang dipimpin Cauchon bertujuan untuk memanfaatkan kekuasaan gereja untuk menghancurkan Joan sebagai ancaman terhadap kekuasaan Inggris di Prancis.
Proses persidangan tersebut sangat tidak adil. Joan tidak diberikan penasihat hukum dan tidak diizinkan mengajukan banding kepada Paus atau pihak-pihak yang lebih tinggi dalam Gereja. Ketika ditanya Paus mana yang ia anggap sah, Joan menjawab Paus yang ada di Roma, sebuah pilihan yang mencerminkan ketegangan politik yang ada. Ia dipaksa untuk menghadap para hakim yang telah terkontaminasi dengan kepentingan politik. Lebih ironis lagi, para hakim ini melanggar hukum kanon, yang pada saat itu mengatur bagaimana pengadilan gereja harus dijalankan, hanya untuk menyenangkan Duke of Bedford agar dapat mempercepat pengadilan dan menghancurkan Joan of Arc dan memenuhi agenda politik mereka. Mereka juga menuduh Joan melakukan bid’ah karena mendengar suara-suara dari "roh-roh" yang ia yakini adalah malaikat, yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik pada masa itu.
Politik Inggris dan Pembunuhan Joan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada saat itu, Inggris dan Prancis terlibat dalam Perang Seratus Tahun. Joan of Arc menjadi tokoh penting yang menginspirasi pasukan Prancis untuk melawan Inggris. Pada tahun 1429, setelah mengalami serangkaian kemenangan penting, Joan berhasil membawa Charles VII, yang pada saat itu dikenal sebagai Dauphin, ke Rheims untuk dimahkotai sebagai Raja Prancis. Ini adalah sebuah simbol kemenangan besar bagi Prancis dan pukulan telak bagi Inggris, yang berusaha menempatkan Raja Inggris di takhta Prancis.
Kehadiran Joan sebagai seorang tokoh pahlawan, yang dipandang sebagai pemberi semangat bagi tentara Prancis, mengancam rencana Inggris untuk menguasai Prancis. Hal ini menjadi alasan mengapa Inggris begitu berusaha keras untuk menghancurkannya. Pada tahun 1430, Joan ditangkap oleh pasukan Burgundia, yang adalah sekutu Inggris, dan diserahkan kepada Inggris. Dengan tuduhan yang sangat serius, Joan diadili oleh pengadilan yang sebagian besar terdiri dari orang-orang yang lebih loyal pada Inggris ketimbang pada Gereja.
Penyalahgunaan Kekuasaan Gereja?
Banyak orang percaya bahwa Gereja Katolik secara langsung bertanggung jawab atas kematian Joan, namun hal ini tidak sepenuhnya benar. Meskipun beberapa tokoh Gereja, seperti Cauchon, terlibat dalam pengadilan, mereka bertindak atas nama individu dan kekuatan politik, bukan sebagai perwakilan sah Gereja Katolik. Persidangan ini tidak disetujui oleh Paus Roma pada saat itu, yang jelas tidak mendukung penghukuman Joan.
Sebagai contoh, dalam proses pengadilan, Joan tidak diberikan hak untuk membela dirinya secara adil. Ia dipaksa untuk menandatangani pengakuan yang didasarkan pada ancaman dan tekanan fisik, yang jelas tidak sah menurut hukum gereja. Banyak pihak yang melihat persidangan ini sebagai sebuah manipulasi politik yang dirancang untuk mengalahkan Joan dan menghancurkan semangat perlawanan Prancis.
Rehabilitasi dan Pengakuan oleh Gereja
Setelah Joan dibakar di tiang pancang pada 30 Mei 1431, sebagai martir bagi bangsanya, pengakuan terhadap ketidakadilan persidangan semakin berkembang. Setelah Prancis memenangkan perang pada akhir 1450-an, sebuah penyelidikan dilakukan untuk mengkaji kembali proses pengadilan yang menewaskan Joan. Pada tahun 1455, Paus Callixtus III memberikan wewenang kepada Inkuisitor Jean Brehal untuk memeriksa persidangan tersebut. Proses ini mengarah pada pembatalan semua tuduhan terhadap Joan dan menyatakan bahwa ia dihukum secara keliru.
Pada akhirnya, Joan of Arc dibebaskan dari semua tuduhan, dan pada tahun 1920, ia dinyatakan sebagai seorang santa oleh Paus Benediktus XV. Perayaan untuk menghormatinya ditetapkan pada hari Minggu kedua bulan Mei, yang menjadi tradisi tahunan bagi gereja Katolik dan masyarakat Prancis.
Kesimpulan: Gereja Katolik dan Warisan Joan of Arc
Joan of Arc merupakan simbol keberanian dan keteguhan iman. Meskipun ada klaim bahwa Gereja Katolik bertanggung jawab atas kematiannya, kenyataannya adalah bahwa persidangan terhadap Joan sepenuhnya dipengaruhi oleh politik Inggris dan para tokoh gereja yang terlibat dalam rencana mereka. Joan dihukum oleh pengadilan yang tidak sah, yang disusun oleh pihak yang lebih loyal pada penguasa sekuler daripada pada Gereja.
Namun, melalui rehabilitasi dan pengakuan Gereja Katolik, Joan of Arc akhirnya dihormati sebagai seorang martir dan pahlawan nasional Prancis. Reputasinya yang terus berkembang menunjukkan bahwa kebenaran akhirnya dapat menang, meskipun dibayangi oleh ketidakadilan yang terjadi dalam hidupnya. Sejarah Joan of Arc mengingatkan kita akan pentingnya keadilan, kejujuran, dan keberanian untuk melawan penindasan.
Fun Fact: Mujizat Tubuh Joan of Arc Saat Dibakar
Namun, ada hal menakjubkan yang terjadi selama proses pembakaran tersebut. Jantung Joan of Arc dilaporkan tetap utuh meskipun tubuhnya hangus terbakar. Pada abad ke-15, hal ini dianggap sebagai sebuah mukjizat. Karena jantungnya tidak hancur, jenazahnya harus dikremasi dua kali lagi sebelum akhirnya dibuang ke sungai.
Selain itu, legenda menyebutkan bahwa seorang pengikut setia Joan berhasil menyelamatkan sebagian jenazahnya, termasuk potongan tulang rusuk yang hangus dan bahan dari pakaiannya. Relik-relik ini kini menjadi salah satu peninggalan paling berharga dalam gereja Katolik Roma, mengukuhkan Joan of Arc sebagai simbol keberanian dan iman yang abadi.





Komentar
Posting Komentar