LEMBAGA ALKITAB INDONESIA (LAI)
Syalom aleikhem.
Mari melihat-lihat Alkitab kita pada halaman-halaman awal. Untuk Alkitab Deuterokanonika, ada dua logo: Lembaga Biblika Indonesia (LBI) dan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Tulisan ini akan menjelaskan mengenai LAI, yaitu lembaga yang mencetak Alkitab yang kita gunakan sehari-hari.
Ada cukup banyak salah paham mengenai LAI. Orang berkata, “LAI itu lembaga milik Kristen.”
Kristen yang dimaksudkan di sini “protestan”. Ada yang mengira bahwa LAI adalah lembaga milik kaum protestan. Ada lagi yang menyatakan, “Kantornya saja di samping PGI.”
PGI adalah Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, wadah bersama pelbagai denominasi protestan di Indonesia. Kantor PGI di Jalan Salemba Raya, Jakarta. Persis di sebelahnya ada kantor LAI. Makin sah anggapan salah itu: “LAI milik Kristen!”
Benarkah demikian? Tidak. Yang benar adalah LAI tidak dimiliki oleh kelompok manapun secara mandiri. LAI itu “milik bersama”, tidak menjadi hak siapapun atau denominasi manapun. Dapat dikatakan LAI adalah lembaga bersama, baik aneka denominasi protestan maupun Gereja Katolik. Sekarang malah Gereja Ortodox “ikut-ikut” bergabung ke dalam LAI.
Jadi, LAI bukan lembaga milik protestan? Bukan. Buka saja situs www. alkitab.or.id.
Tengok susunan pengurus LAI. Ada orang Katolik di dalamnya. Dua di antaranya adalah Rm. Dr. Y. Subagyo dan dr. Irene Setiadi. Romo Bagyo itu pembina, Dokter Irene ketua.
Mengapa orang Katolik di LAI? Malah ada imam Katolik? Ya, karena LAI juga milik Gereja Katolik. Bukan milik sendiri, melainkan milik bersama. Artinya, Gereja Katolik ikut memiliki LAI, ambil bagian di dalamnya.
Bagaimana sejarahnya bisa demikian? Latar belakangnya adalah Konsili Vatikan II (KVII). Konsili adalah rapat akbar pemimpin dan umat Katolik sedunia. KVII diadakan tahun 1963-1967. KVII mengeluarkan aneka dokumen yang salah satunya berjudul Dei Verbum (DV). Isinya ajaran mengenai wahyu ilahi dan Kitab Suci.
Tercantum pada DV 25, Konsili “mendesak dengan sangat dan istimewa semua orang beriman… supaya dengan seringkali membaca kitab-kitab ilahi memperoleh pengertian yang mulia akan Yesus Kristus”.
Jadi, umat Katolik diminta sering-sering baca Alkitab. Tak kalah penting adalah DV 22: “Bila terjemahan-terjemahan Kitab Suci… diselenggarakan atas usaha bersa¬ma dengan saudara-saudara terpisah, maka terjemahan-terjemahan itu dapat digunakan semua orang kristiani.”
Saudara-saudara terpisah maksudnya adalah kaum protestan.
Itulah latar belakangnya.
Sebelum KV II, para pakar Kitab Suci Katolik di Indonesia sudah mulai membuat terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia. Pada tahun-tahun sekitar KVII, Gereja Katolik membuat terjemahannya sendiri. Tim untuk Perjanjian Baru dipimpin oleh Pastor Bouma SVD. Tim untuk Perjanjian Lama diketuai oleh Pastor Groenen OFM. Pada tahun 1960-an itulah, terjemahan versi Katolik sudah selesai dikerjakan. Di pihak lain, orang-orang protestan pun mengerjakan terjemahannya sendiri. Dan juga sudah selesai dikerjakan.
Silakan dibayangkan, tahun 1960-an itu, Gereja Katolik membuat terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia, demikian pula denominasi-denominasi protestan. Semua berjalan mandiri, tidak ada kaitan. Syah dan terjadi mujizat, Roh Kudus bekerja. Tim Pastor Groenen tergerak oleh kalimat DV 22. Langkah selanjutnya, tim itu meminta izin MAWI (Majelis Agung Waligereja Indonesia) – sekarang KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) – agar dapat bekerja sama dengan tim penerjemah protestan. Dan terjadilah demikian.
Lalu bagaimana? Tunggu ya.
R.D. Y. Istimoer Bayu Ajie
Pembaca Alkitab
[+In Cruce Salus, Pada Salib Ada Keselamatan. -Thomas A Kempis. 'De Imitatione Christi', II, 2, 2]


Komentar
Posting Komentar