Antara Takdir dan Pilihan Bebas: Memahami Tragedi Yudas Iskariot dalam Terang Iman Katolik
Pertanyaan mendasar yang terus mengemuka adalah: apa yang sesungguhnya mendorong Yudas, seorang yang telah mengikuti Yesus selama tiga tahun, menyaksikan mukjizat-mukjizat-Nya, dan mendengarkan pengajaran-Nya, hingga tega mengkhianati Gurunya sendiri? Injil memberikan beberapa petunjuk yang kompleks dan multi-dimensional. Dari sisi supranatural, jelas bahwa Setan sedang bekerja dalam diri Yudas (Lukas 22:3; Yohanes 13:2, 27). Namun dari sisi manusiawi, kita perlu menyelami motif-motif yang mungkin bergolak dalam hatinya.
Salah satu motif yang paling sering disebut adalah keserakahan. Yohanes mencatat bahwa Yudas dikenal sebagai pribadi yang serakah dan bahkan pernah mencuri uang kas (Yohanes 12:5-6). Matius secara eksplisit menuliskan bagaimana Yudas mendatangi imam-imam kepala dan berkata: "'Apa yang akan kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?' Dan mereka membayar tiga puluh uang perak kepadanya. Dan sejak saat itu ia mencari kesempatan yang baik untuk mengkhianati-Nya" (Matius 26:15-16). Namun, apakah motif materi ini cukup untuk menjelaskan pengkhianatan sedalam itu? Banyak ahli meragukannya dan menawarkan kemungkinan lain.
Ada pandangan yang menyatakan bahwa Yudas mungkin bermaksud "membantu" Yesus menggenapi peran-Nya sebagai Mesias dengan mempertemukan-Nya dengan para pemimpin Yahudi. Dalam kerangka berpikir ini, Yudas tidak sepenuhnya bermaksud jahat. Namun, pandangan ini terbantahkan oleh kenyataan bahwa Yudas menyiapkan tanda rahasia - sebuah ciuman - dan menginstruksikan penangkapan dengan sangat hati-hati (Markus 14:44). Ini menunjukkan kesadaran penuh akan konsekuensi tindakannya.
Motif lain yang mungkin adalah kekecewaan mesianik. Seperti banyak orang Yahudi lainnya, Yudas mungkin mengharapkan Yesus tampil sebagai Mesias politis yang akan mengusir penjajah Romawi. Ketika Yesus tidak menunjukkan niat ke arah itu, kekecewaan Yudas bisa saja berubah menjadi pengkhianatan. Bahkan kemarahan dan rasa iri hati mungkin turut berperan, mengingat Yudas selalu disebut terakhir dalam daftar murid (Matius 10:1-4), sementara murid-murid lain seperti Petrus, Yakobus, dan Yohanes tampak lebih dekat dengan Yesus.
Dalam memahami misteri ini, Gereja Katolik melalui Magisteriumnya menawarkan pemahaman yang seimbang. Katekismus Gereja Katolik (KGK 311) menegaskan bahwa "Allah dalam kemahakuasaan-Nya dapat menarik kebaikan dari konsekuensi suatu kejahatan, bahkan kejahatan moral." Ini berarti bahwa meskipun Allah mengizinkan pengkhianatan Yudas terjadi, Ia sama sekali tidak menjadi penyebab atau sumber kejahatan moral tersebut. Pemahaman tentang predestinasi perlu dibedakan dengan jelas: Allah mengetahui segala sesuatu (mahatahu), mengizinkan segala sesuatu terjadi (mahakuasa), tetapi tidak menetapkan atau menghendaki yang jahat.
![]() |
| Penghianatan Yudas |
Dalam memahami misteri ini, Gereja Katolik melalui Magisteriumnya menawarkan pemahaman yang seimbang. Katekismus Gereja Katolik (KGK 311) menegaskan bahwa "Allah dalam kemahakuasaan-Nya dapat menarik kebaikan dari konsekuensi suatu kejahatan, bahkan kejahatan moral." Ini berarti bahwa meskipun Allah mengizinkan pengkhianatan Yudas terjadi, Ia sama sekali tidak menjadi penyebab atau sumber kejahatan moral tersebut. Pemahaman tentang predestinasi perlu dibedakan dengan jelas: Allah mengetahui segala sesuatu (mahatahu), mengizinkan segala sesuatu terjadi (mahakuasa), tetapi tidak menetapkan atau menghendaki yang jahat.
Proses pengkhianatan ini ternyata direncanakan dengan matang dan penuh perhitungan. "Dua hari sebelum Paskah dan hari raya Roti Tidak Beragi, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat berusaha menangkap dan membunuh Dia secara diam-diam" (Markus 14:1-2). Dalam sistem penanggalan Yahudi, ini berarti siang hari pada hari Rabu - yang kemudian dikenal sebagai "Rabu Mata-mata." Pada hari inilah Yudas mendatangi imam-imam kepala dan menyetujui rencana pengkhianatan.
Namun Yesus ternyata lebih dahulu mengantisipasi segalanya. Ia merahasiakan lokasi perjamuan Paskah sampai detik terakhir, mengutus Petrus dan Yohanes (Lukas 22:8) untuk mencari seorang pria yang membawa kendi air - tanda yang tidak lazim - untuk mempersiapkan perjamuan (Markus 14:13-15). Tujuannya jelas: Yesus ingin merayakan Paskah terakhir dengan murid-murid-Nya tanpa gangguan, sambil menyatakan kerinduan-Nya yang mendalam: "Aku sangat rindu makan Paskah ini bersama-sama dengan kamu sebelum Aku menderita" (Lukas 22:15).
Pada perjamuan itulah terjadi adegan yang mengharukan sekaligus mengerikan. Yesus mengumumkan bahwa salah seorang di antara mereka akan mengkhianati-Nya. Dalam dialog yang intim dengan murid yang dikasihi-Nya, Yesus memberikan sepotong roti yang telah dicelupkan kepada Yudas, anak Simon Iskariot. "Sesudah Ia menerima roti itu, ia dirasuki Iblis. Yesus berkata kepadanya, 'Apa yang hendak kau perbuat, perbuatlah segera!'" (Yohanes 13:27). Kata-kata ini bukanlah perintah ilahi untuk berbuat jahat, melainkan pengakuan akan pilihan bebas Yudas dan ketetapan hati-Nya untuk menjalani jalan salib.
Setelah perjamuan, Yesus pergi ke taman Getsemani di seberang sungai Kidron, "sebuah taman, dan Ia masuk bersama murid-murid-Nya. Yudas, yang mengkhianati Dia, tahu juga tempat itu, karena Yesus sering berkumpul di sana dengan murid-murid-Nya" (Yohanes 18:1-2). Di sinilah pengkhianatan mencapai puncaknya dengan sebuah ciuman - simbol persahabatan yang dikhianati. "Kata Yesus kepadanya: 'Yudas, apakah engkau akan menyerahkan Anak Manusia dengan ciuman?'" (Lukas 22:48).
Kontras antara nasib Yudas dan Petrus memberikan pelajaran rohani yang mendalam. Keduanya melakukan pengkhianatan - Yudas dengan menyerahkan, Petrus dengan menyangkal. Namun respons mereka setelah jatuh dalam dosa sangat berbeda. Petrus, setelah menyadari kesalahannya, "menangis dengan sedihnya" (Lukas 22:62) dalam pertobatan sejati yang membawanya kepada pemulihan. Sebaliknya, Yudas, meski menyesal ("Aku telah berdosa," Matius 27:4), berakhir dengan keputusasaan dan bunuh diri. Perbedaan ini menunjukkan bahwa anugerah pengampunan selalu tersedia bagi mereka yang bertobat dengan iman, bukan dengan putus asa.
Pada akhirnya, misteri Yudas mengajarkan kita tentang interaksi kompleks antara kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia. Allah, dalam hikmat-Nya yang tak terduga, berdaulat atas sejarah dan mampu memakai bahkan kejahatan manusia untuk melaksanakan rencana keselamatan-Nya, tanpa sekali-kali menjadi penyebab dosa tersebut. Kisah Yudas adalah peringatan tragis tentang bahaya pengerasan hati dan keputusasaan, sekaligus undangan untuk selalu, seperti Petrus, berbalik kepada Sang Juruselamat yang penuh belas kasihan, yang darah-Nya "ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa" (Matius 26:28).
T Shirt/Kaos Rohani
T Shirt/Kaos Rohani
Daftar Sumber
Sumber Utama - Kitab Suci
- Matius 26:14-16, 24-25, 47-50; 27:3-5
- Markus 14:1-2, 10-11, 43-45
- Lukas 22:1-6, 47-48
- Yohanes 6:70-71; 12:4-6; 13:2, 21-30; 18:1-5
Katekismus Gereja Katolik (KGK)
- Paragraf 311: Tentang Allah menarik kebaikan dari kejahatan
- Paragraf 600: Tentang rencana keselamatan Allah
- Paragraf 982: Tentang kuasa pengampunan dosa
Dokumen Konsili Trente
- Dekrit tentang Justifikasi (Session 6, Chapter 15)
- Penolakan terhadap predestinasi ganda (Canones de iustificatione)
Sumber Teologi dan Eksegesis Katolik
- "The Navarre Bible: Gospels and Acts" (Four Courts Press, 2003)
- "Ignatius Catholic Study Bible: New Testament" (Ignatius Press, 2010)
- "Introduction to Christianity" - Joseph Ratzinger (Pope Benedict XVI)
- "Jesus of Nazareth: Holy Week" - Pope Benedict XVI (Ignatius Press, 2011)
Sumber Historis dan Patristik
- "The Church Fathers on Judas" - Edited by Thomas C. Oden (InterVarsity Press, 2002)
- "Augustine: Sermons on the New Testament" - St. Augustine of Hippo
- "Catena Aurea" - St. Thomas Aquinas




Komentar
Posting Komentar